1.
FENOMENA
TAWURAN ANTAR PELAJAR
Tawuran
pelajar saat ini semakin merajalela di kalangan masyarakat luas. Bahkan bukan
“hanya” antar pelajar SMU, tapi juga sudah melanda sampai ke kampus-kampus. Ada
yang mengatakan bahwa berkelahi adalah hal yang wajar pada remaja, hanya untuk
kepuasan semata di kelompoknya masing-masing. Masa Remaja merupakan masa
manusia mencari jati diri. Pencarian tersebut direfleksikan melalui aktivitas
berkelompok dan menonjolkan keegoannya. Jika kelompok sudah terbentuk, akan
timbul adanya semacam ikatan batin antara sesama kelompoknya untuk menjaga
harga diri kelompoknya. Maka tidak heran, apabila kelompoknya diremehkan,
emosianal-lah yang akan mudah berbicara. Aksi kekerasan individual maupun massal telah
menjadi bahan perbincangan publik yang fenomenal.
Tawuran,pertengkaran,perkelahian,konflik
merupakan suatu tindakan pertentangan dari pribadi seseorang yang mempengaruhi
pribadi orang lain, sehingga menjadi suatu konflik antar kelompok.bila ditinjau
dari sisi usia, mereka sedang mengalami potensial bermasalah yang sangat labil.
Bagaikan angin topan dan badai yang datang dengan tiba-tiba merusak lingkungan
dalam waktu singkat, bukan hanya harta benda/materi yang dirugikan namun banyak juga nyawa yang melayang. Dalam kurun
tersebut timbul gejala emosi dan tekanan jiwa yang mendorong mereka melakukan
penyimpangan. Aksi-aksi kekerasan dapat terjadi di mana saja, seperti di
jalan-jalan, di sekolah, bahkan di kompleks-kompleks perumahan. Aksi tersebut
dapat berupa kekerasan verbal (mencaci maki) maupun kekerasan fisik (memukul,
menusuk, dll). Hal yang terjadi pada saat tawuran sebenarnya adalah perilaku agresi dari seorang individu atau kelompok. Pengertian
agresi sendiri adalah berbagai cara yang dilakukan untuk melawan,melukai,menyerang,membunuh
orang lain dan merusak hak/milik orang lain baik secara fisik atau psikis.
Biasanya permusuhan antar sekolah dimulai dari masalah yang
sangat sepele. Namun dengan tingkat emosi yang masih sangat labil yang
dimilikinya justru hal tersebut ditanggapi sebagai sebuah tantangan. Pemicu
lain biasanya karena dendam dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi, para siswa
tersebut akan membalas perlakuan sekelompok siswa yang dianggap merugikan atau
mencoreng nama baik sekolah tersebut.
Perkelahian
antar pelajar sangat merugikan dan perlu upaya untuk mencari jalan keluar dari
masalah ini atau setidaknya meminimalisasikan.
Terdapat factor-faktor lain yang
berasal dari dalam maupun luar, yaitu internal dan eksternal.
1.Faktor internal.
yang terlibat
perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada situasi lingkungan
yang kompleks. Kompleks di sini berarti adanya keanekaragaman pandangan,
budaya, tingkat ekonomi, dan semua rangsang dari lingkungan yang makin lama
makin beragam dan banyak. Situasi ini biasanya menimbulkan tekanan pada setiap
orang. Tapi pada remaja yang terlibat perkelahian, mereka kurang mampu untuk
mengatasi, apalagi memanfaatkan situasi itu untuk pengembangan dirinya. Mereka
biasanya mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, menyalahkan orang
/ pihak lain pada setiap masalahnya, dan memilih menggunakan cara tersingkat
untuk memecahkan masalah. Pada remaja yang sering berkelahi, ditemukan bahwa
mereka mengalami konflik batin, mudah frustrasi, memiliki emosi yang labil,
tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan memiliki perasaan rendah diri yang
kuat.
2.Sedangkan faktor eksternal
adalah sebagai berikut
Faktor keluarga.
Rumah tangga yang dipenuhi kekerasan (entah antar orang tua atau pada anaknya)
jelas berdampak pada anak.baik kekerasan dalam fisik maupun keerasan dalam
batin. Anak, ketika meningkat remaja, belajar bahwa kekerasan adalah bagian
dari dirinya, sehingga adalah hal yang wajar kalau ia melakukan kekerasan pula.
Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan
tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan
identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan
menyerahkan dirinya terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang
diciptakan. Seorang anak bukan hanya butuh materi saja, mereka yang kurang
merasakan bahagia didalam keluarga sangat membutuhkan perhatian, kasih sayang,
kebahagiaan lahir dan batin,dan komunikasi yang sangat erat terhadap kedua
orang tuanya. Jadi, anak yang diajak bicara dengan hati kehati yang paling
dalam oleh orang tuanya, maka anak akan tersentuh dan mau untuk mengikuti
arahan orang tua. Hal tersebut akan ditaatinya, baik didekat kita maupun tanpa
kita didekatnya. Hal inilah yang kita tanamkan saling kepercayaan,
Faktor sekolah. Sekolah
pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya
menjadi sesuatu ataupun bukan hanya menuntut siswa siswi untuk mengejar nilai
kognitif saja. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas
pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya
untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak
relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan
menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama
teman-temannya. Baru setelah itu masalah pendidikan, yang mengakibatkan mereka
mendapatkan pengajaran-pengajaran negative dari lingkungan yang buruk. guru
jelas memainkan peranan paling penting. Sayangnya guru lebih berperan sebagai
penghukum dan pelaksana aturan, serta sebagai tokoh otoriter yang sebenarnya juga
menggunakan cara kekerasan dalam “mendidik” siswanya. Untuk meminimalkan
tawuran antar pelajar,sekolah harus menerapkan aturan tata tertib yang lebih
ketat,lebih mengaktifkan peran BK dalam rangka pembinaan mental siswa,serta
membantu menemukan jalan keluar bagi siswa yg mempunyai masalah,menciptakan
lingkungan sekolah yg ramah dan penuh kasih sayang.energi yang dimiliki mereka
sangat tinggi,sehingga perlu disalurkan lewat kegiatan yang positif sehingga
tidak berubah menjadi agresivitas yang berdampak merugikan.
Faktor lingkungan.
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga
membawa dampak negatif terhadap munculnya perkelahian. Misalnya lingkungan
rumah yang sempit dan kumuh, adanya gangguan dari orang-orang sekitar, dan
anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula
sarana transportasi umum yang sering menomor-sekiankan pelajar. Juga lingkungan
kota yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang remaja untuk belajar
sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang sangat agresif yang
berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.
DAMPAK
Para pelajar belajar bahwa berkelahi
adalah cara yang efektif dalam memecahkan masalah. Banyak pihak yang dirugikan
atas seringnya kejadian ini. Dampak negative dari tawuran antar pelajar yaitu Terutama
pelajar sendiri atau keluarga yang terlibat apabila terjadi cedera,luka berat,
bahkan tewas. Kerusakan yang parah pada kendaraan dan kaca gedung atau
bangunan-bangunan lainnya yang terkena lemparan batu. Hal tersebut dapat
menjadi trauma yg begitu dalam bagi para siswa yang menjadi korban maupun keluarganya. Rusaknya fasilitas pribadi dan
fasilitas umumpun yang jelas sangat
merugikan lingkungan. terganggunya proses belajar di dalam maupun diluar
sekolah,hal tersebut dapat menimbulkan rasa takut / tidak ketenangan bagi
siswa-siswi yang tidak bersalah, dan menurunkan kualitas pendidikan di
Indonesia.
Kita merasa sangat prihatin
dengan kondisi pelajar saat ini, mereka yang telah membunuh lawan menyatakan
rasa puas.. Merasa puas dengan melakukan kriminalitas . Sesungguhnya
permasalahan yang utama ada pada keluarga. seringkali mengabaikan peran
keluarga dalam membentuk karakter anak. Ada beberapa cara mengatasi atau
mencegah siswa tawuran diantaranya adalah :
1.Menjaga,menjalin,mempererat komunikasi antara orang tua dan anak dengan baik.
2.Orang tua selalu memantau keberadaan putranya, terutama setelah jam pelajaran selesai.
3.Memberikan pendidikan disiplin sedari dini.
4.Memberikan pemahaman tentang tawuran dan akibatnya.
5.Bagi orang tua untuk tidak selalu menuruti semua keinginan anaknya,, pandang terlebih dahulu apakah keinginannya itu utama,baik atau tidak,dan berdampak positif.
1.Menjaga,menjalin,mempererat komunikasi antara orang tua dan anak dengan baik.
2.Orang tua selalu memantau keberadaan putranya, terutama setelah jam pelajaran selesai.
3.Memberikan pendidikan disiplin sedari dini.
4.Memberikan pemahaman tentang tawuran dan akibatnya.
5.Bagi orang tua untuk tidak selalu menuruti semua keinginan anaknya,, pandang terlebih dahulu apakah keinginannya itu utama,baik atau tidak,dan berdampak positif.
Terdapat berbagai contoh
tawuran antar pelajar yang dapat diambil dari beberapa sekolah, di antaranya : Dalam
beberapa hari ini kita dikejutkan oleh tewasnya siswa SMA 6 Alawy Yusianto Putra
dalam tawuran antar pelajar dengan SMA 70 Bulungan Jakarta yang notabene
merupakan sekolah favorit yang jaraknya hanya beberapa ratus meter dari
SMA 6. Kemudian selang beberapa hari disusul dengan Deny Januar (17) siswa
kelas XII SMA Yayasan Karya 66 Kampung Melayu Jakarta Timur yang tewas dalam
tawuran dengan pelajar SMK Kartika Zeni di jalan Saharjo. Deny Januar merupakan
anak tunggal dari suyanti (45) yang telah lama berpisah dengan suaminya. Tentu
saja kejadian tersebut bukanlah kejadian yang pertama kalinya terjadi di
Jakarta atau daerah sekitarnya, bahkan sebagian masyarakat menganggap kejadian
tawuran antar pelajar telah menjadi peristiwa yang biasa, namun ada juga yang
sudah merasa jengah melihat tawuran antar pelajar tersebut.
PANDANGAN PSIKOLOGI TERHADAP
TAWURAN
Secara psikologis, tawuran adalah salah satu
bentuk kenakalan remaja. Fase remaja merupakan masa pencarian jati diri dimana
kondisi jiwa dan emosi sedang labil dan gejolak hasrat yang tinggi.
Remaja yang terlibat tawuran cenderung tidak mampu beradaptasi dengan keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi dan sejumlah perbedaan yang semakin kompleks sehingga menyebabkan konflik batin dan tekanan pada dirinya. Akibatnya, ia akan mudah putus asa, menyalahkan orang lain pada setiap masalahnya dan memilih menggunakan cara spontan memecahkan masalahnya, termasuk dengan cara tawuran.Lingkungan pertemanan juga berpengaruh bagi seseorang terlibat dalam tawuran. Rasa solidaritas yang dimaknai secara keliru menyebabkan seseorang mudah melakukan tawuran. Kita bisa lihat banyak anak-anak terlibat tawuran karena mereka ikut atau membantu temannya yang sedang bentrok.
Selain itu, lingkungan keluarga juga memengaruhi psikologi dan cara berpikir anak. Ketika rumah sering terkondisikan tidak nyaman, akibat pertengkaran orangtua misalnya, akan menyebabkan hubungan anak dan orangtua renggang. Akibatnya, anak terpola dalam pikirannya untuk menyelesaikan masalah dengan bertengkar dan kekerasan, bukan dengan jalan damai dan musyawarah.
Begitu juga dengan sekolah. Suasana monoton dalam proses belajar-mengajar akan menjadikan anak didik bosan dan mencari keasyikan di luar untuk mengekspresikan dirinya. Parahnya, ketika semuanya tidak terkontrol dan terawasi, ditambah pergaulan yang salah serta tontonan televisi yang kerapkali mempertontonkan tindakan kekerasan mengakibatkan tawuran menjadi salah satu “keasyikan“ tersendiri bagi remaja dalam menunjukkan eksistensinya. Karena itu, dibutuhkan ruang ekspresi yang positif bagi para remaja ini. Misalnya, adanya sarana dan prasarana sekolah/kampus yang memadai untuk penyaluran hobby pelajar/mahasiswa.
Khususnya bagi siswa sekolah, kegiatan ekstrakurikuler perlu diperhatikan karena tawuran sebenarnya dikarenakan waktu luang siswa yang begitu banyak dan siswa tidak tahu untuk memanfaatkan waktu luang tersebut. Sebagai contoh, banyak anak sekolah bosan dengan waktu luang yang banyak sehingga mereka suka nongkrong di pinggir jalan, ditambah lagi saling ejek yang berujung pada terjadinya perkelahian.
Keluarga punya peran yang sangat urgen dalam meminimalisir tawuran. Orangtua harus mengetahui kegiatan anak dan menjalin komunikasi yang efektif serta bersahabat dengan anak agar ia menjadikan orangtua sebagai tempat yang nyaman untuk berbagi ketika ia menemui masalah. Orangtua harus membimbing, memperhatikan dan mengawasi kegiatan anak. Bahkan, orangtua juga perlu memperhatikan tontonan anak.
Akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa perlu kerjasama dari berbagai pihak agar tawuran antar pelajar atau mahasiswa itu dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Tentu saja tawuran yang semakin meningkat itu menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan.
Remaja yang terlibat tawuran cenderung tidak mampu beradaptasi dengan keanekaragaman pandangan, budaya, tingkat ekonomi dan sejumlah perbedaan yang semakin kompleks sehingga menyebabkan konflik batin dan tekanan pada dirinya. Akibatnya, ia akan mudah putus asa, menyalahkan orang lain pada setiap masalahnya dan memilih menggunakan cara spontan memecahkan masalahnya, termasuk dengan cara tawuran.Lingkungan pertemanan juga berpengaruh bagi seseorang terlibat dalam tawuran. Rasa solidaritas yang dimaknai secara keliru menyebabkan seseorang mudah melakukan tawuran. Kita bisa lihat banyak anak-anak terlibat tawuran karena mereka ikut atau membantu temannya yang sedang bentrok.
Selain itu, lingkungan keluarga juga memengaruhi psikologi dan cara berpikir anak. Ketika rumah sering terkondisikan tidak nyaman, akibat pertengkaran orangtua misalnya, akan menyebabkan hubungan anak dan orangtua renggang. Akibatnya, anak terpola dalam pikirannya untuk menyelesaikan masalah dengan bertengkar dan kekerasan, bukan dengan jalan damai dan musyawarah.
Begitu juga dengan sekolah. Suasana monoton dalam proses belajar-mengajar akan menjadikan anak didik bosan dan mencari keasyikan di luar untuk mengekspresikan dirinya. Parahnya, ketika semuanya tidak terkontrol dan terawasi, ditambah pergaulan yang salah serta tontonan televisi yang kerapkali mempertontonkan tindakan kekerasan mengakibatkan tawuran menjadi salah satu “keasyikan“ tersendiri bagi remaja dalam menunjukkan eksistensinya. Karena itu, dibutuhkan ruang ekspresi yang positif bagi para remaja ini. Misalnya, adanya sarana dan prasarana sekolah/kampus yang memadai untuk penyaluran hobby pelajar/mahasiswa.
Khususnya bagi siswa sekolah, kegiatan ekstrakurikuler perlu diperhatikan karena tawuran sebenarnya dikarenakan waktu luang siswa yang begitu banyak dan siswa tidak tahu untuk memanfaatkan waktu luang tersebut. Sebagai contoh, banyak anak sekolah bosan dengan waktu luang yang banyak sehingga mereka suka nongkrong di pinggir jalan, ditambah lagi saling ejek yang berujung pada terjadinya perkelahian.
Keluarga punya peran yang sangat urgen dalam meminimalisir tawuran. Orangtua harus mengetahui kegiatan anak dan menjalin komunikasi yang efektif serta bersahabat dengan anak agar ia menjadikan orangtua sebagai tempat yang nyaman untuk berbagi ketika ia menemui masalah. Orangtua harus membimbing, memperhatikan dan mengawasi kegiatan anak. Bahkan, orangtua juga perlu memperhatikan tontonan anak.
Akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa perlu kerjasama dari berbagai pihak agar tawuran antar pelajar atau mahasiswa itu dapat diminimalisir bahkan dihilangkan. Tentu saja tawuran yang semakin meningkat itu menjadi tamparan keras bagi dunia pendidikan.